.
"Ditengarai beduk yang bertalu, hujan gemercik.
Membecekkan tanah, kuyupkan kunang-kunang. Hujan yang selalu disambut dengan
rasa syukur. Kawinkan harapan menyemai rasa damai. Ketika bumi masih suka
bersetubuh dengan hujan.
Merapatkan bongkahan tanah mengalirkan sedekah. Tapi aku bukan
Nabi Nuh yang pandai membuat kapal. Belajarlah dengan tubuh masing-masing.
Merenangi samudra diri, siapa tahu ketemu Dewa Ruci. Lalu kita minta air
suci perwita sari
Tuk sejukan hati yang gundah".Rasanya, kalimat-kalimat tersebut cocok untuk mengawali cerita tentang
pengalamanku, yang aku coba torehkan ketika bersemangat untuk belajar tentang
Borobudur. Aku coba awali ceritaku dari
saat muncul isu penggusuran di dusunku pada 1980
Ini terjadi ketika aku mendengar kabar pertama kalinya, bahwa
dusunku akan terkena penggusuran untuk pembangunan Taman Wisata Candi
Borobudur.
Kabar yang beredar dari
mulut-mulut, bahwa dusunku akan
digusur untuk pembangunan Taman
Wisata Candi Borobudur, yang akan
menggunakan tanah seluas 87 hektare.
Tentunya tidak hanya dusunku,
Kenayan, yang akan terkena penggusuran
tersebut, tetapi juga dusun- dusun lainnya, seperti Ngaran Krajan,
Gendingan, Sabrangrawa, dan sebagian Gopalan.
Bagiku, apabila informasi
itu benar, menjadi pembelajaran hidup yang masih asing, juga untuk sebagian
warga lima dusun itu.
Sebelumnya tak pernah aku
membayangkan, bahwa akan ada perubahan kehidupan yang sangat besar bagi masyarakat, khususnya di lima dusun
tersebut.
Sejak itu, aku mencoba
mulai belajar tentang undang-undang, aku sadar harus mulai belajar tentang
hukum.
Semua itu, sama sekali
belum pernah aku sentuh, apalagi ilmu itu hanya ada di perguruan tinggi, yang
tidak mungkin lagi aku dapat pelajarinya. Apalagi pendidikan terakhirku pun tak
jelas.
Sekilas pengalaman hidup
di arena perjudian muncul di benaku. Aku jadi ingat ketika aku siang malam
menggelandang di THR (Taman Hiburan Rakyat) di Yogyakarta.
Aku sering menelusuri
jalan-jalan di sekitar itu, pernah melihat bangunan tua di Jalan Brigjen
Katamso Nomor 57 atau yang dikenal dengan nama Gondomanan.
Akan tetapi, aku sudah
tidak lagi ingat, rumah itu milik siapa. Yang aku tahu dan ingat, bahwa rumah
itu digunakan untuk kantor Kelompok Studi dan Bantuan Hukum (KSBH )
Aku masih ingat juga,
dengan beberapa nama yang ada di kantor itu. Ada Pak Hasto Admojo, Pak Hadi
Wahono, Mas Aciem, dan Maryadi.
Akhirnya aku mencoba
hubungi mereka-mereka itu, yang tahu soal hukum. Aku mencoba belajar dari
teman-temanku. Selain itu, aku juga membeli buku-buku tentang hukum dan tentang
apa saja yang terkait dengan permasalahan yang mungkin akan muncul sebagai
dampak penggusuran di Borobudur itu.
Aku konsultasikan beberapa
masalah yang dimungkinkan akan menimpa warga Dusun Kenayan dan Ngaran Krajan,
meskipun pemberitahuan secara resmi pihak panitia belum dilakukan.
Kabar bahwa dusun yang
akan digusur sudah semakin gencar. Sebagian masyarakat yang tinggal di lima
dusun tersebut sudah mulai gusar, mulai merasa tak tenteram. Pada setiap
kumpul-kumpul warga, pasti persoalan tersebut yang mereka bicarakan.
Pada suatu hari, awal
Januari, rumah Pak Parto Jembar yang
letaknya persis di pinggir jalan beraspal di belakang Pasar Borobudur, terlihat ramai.
Beberapa warga masyarakat berkumpul di kediaman Pak Jembar atau Pak Parta
Diharjo.
Rumah itu berbentuk
bangunan khas Jawa, limasan, berdinding warna putih, daun pintu warna hijau dan
kuning, serta halamannya cukup luas. Warga bertemu untuk yang pertama kalinya
dengan Panitia Pembebasan Tanah.Yang masih aku ingat pada sore itu, kira-kira jam di dindingku
menunjukkan pukul 17.00 WIB.
Tak seperti biasanya,
rumah Pak Parto Jembar tiba-tiba ramai. Beberapa orang terlihat menata ratusan
kursi dan meja. Pak Karta Dirman yang menjadi kepala dusun terlihat sibuk,
mondar-mandir. Beberapa pemuda Dusun Kenayan juga sibuk membantu Pak Karta
Dirman.
Tak lama kemudian, Pak
Camat Gatot Soegiyarto dan Pak Sarwoto, Kepala Desa Borobudur datang. Pak Camat
langsung duduk di depan dan Pak Sarwoto terlihat masih keluar masuk ruangan.
Beberapa waktu kemudian, warga satu per satu
mulai berdatangan, meskipun sebagian masih duduk-duduk di pinggir jalan.
Malam itu, ternyata ada
sosialisasi rencana pembebasan tanah untuk kepentingan pembangunan Taman Wisata
Candi Borobudur yang akan dilakukan oleh Panitia Pembebasan Tanah Tingkat II
Kabupaten Magelang Sepertinya, warga sudah tahu tentang apa yang akan dibicarakan
dalam pertemuan itu, sehingga mereka tak
sabar lagi untuk membicarakan tentang nasib yang akan dialami setelah pertemuan
itu.
Lamunan kegembiraan dan
kesedihan tiba-tiba muncul di benak sekian banyak orang. Gembira bagi mereka
yang senang akan menerima uang yang cukup banyak, tetapi sedih bagi mereka yang
akan kehilangan mata pencahariannya,
Puluhan warga yang telah membuka usaha, seperti
toko-toko di pinggir jalan besar, seperti Pak Jaya, Pak Ganjur, Pak Carik, Pak
Minta, Mbok Cempluk, Mbok Suro Nun, Pak Muchdi, Pak Jembar, dan Ibu Sumirah,
agaknya mereka merasa keberatan terhadap rencana tersebut.
Tentu dengan pertimbangan mereka, mengingat usaha yang dilakukan selama bertahun-tahun itu, merupakan
satu-satunya penghasilan untuk keperluan hidup sehari-hari, hingga mereka
merasa mapan. Akan tetapi, usaha yang telah dirintis itu, mereka rasakan akan
hilang oleh proyek tersebut.
Pukul 20.30 WIB, beberapa penjabat
Agraria yang waktu itu dijabat oleh Pak Widoyoko Marta Wardaya, beserta
rombongan dari PT Taman Wisata Candi
Borobudur, seperti Pak Boediardjo datang dengan mengendarai mobil kijang dan beberapa sepeda motor .
Para warga pun segera
memasuki ruangan. Pertemuan segera dimulai dengan sambutan pengantar kelapa
desa, Pak Sarwoto, kemudian dilanjutkan oleh Pak Camat Gatot Soegiyarto dan Pak
Widoyoko Marta Wardaya dari Agraria (Badan Pertanahan Kabupaten Magelang)
selaku Panitia Pembebasan Tanah untuk kepentingan PT Taman Wisata Candi
Borobudur.
Berbagai pertanyaan warga Dusun Kenayan dan
Ngaran Krajan disampaikan kepada Panitia Pembebasan Tanah, seperti yang
disampaikan oleh Dumadi, wakil dari warga Dusun Ngaran Krajan .
Pak Dumadi menyampaikan keberatannya karena
belum adanya jaminan kesejahteraan kelak
andaikata ia telah digusur.
Pak Baru, wakil dari Dusun
Kenayan juga menyampikan keberatannya karena akan kehilangan mata pencaharian
sebagai penderes kelapa.
Pak Setro, wakil dari Kenayan juga
menyampaikan keberatanya karena kecintaan mereka terhadap tanah leluhur yang
telah dihuni secara turun-tumurun.
إرسال تعليق