.
Kali pertama aku duduk di bangku sekolahku pada usiaku yang baru
lima tahunan. Aku teringat betul bahwa
ketika itu aku diantar oleh simbokku ke
taman kanak-kanak yang dahulu dikenal sebagai TK Ngisor Sawo.
Dua pohon sawo itu, kini
telah ditebang untuk keperluan pembangunan taman. Akan tetapi, kenangan masa
kecilku masih tetap saja terngiang dalam
benakku
Sambil duduk bersebelahan
dengan teman-temanku, aku memandang dua pohon sawo yang persis di pinggir jalan
di depan sekolahku.
Ketika itu, aku sedang
bermain gobak sodor bersama teman-teman, aku melihat seorang temanku dipanggil
oleh Ibu Guru.
"Maman... Maman...
kamu dicari bapakmu," kata Bu Guru itu. Tak lama kemudian temanku yang
bernama Maman itu pun berlari ke tempat bapaknya yang sudah menunggu.
"Man, itu Ibu mau
mengajakmu ke toko membeli baju baru untukmu," kata bapaknya Maman.
Maman pun terlihat
menganggukkan kepalanya tanda setuju. Ibu Guru mempersilakan mereka
meninggalkan sekolah.
Permainan gobak sodor yang
sebelumnya ramai menjadi sepi. Anak-anak membubarkan diri karena Maman berhenti
bermain.
Aku lihat Si Maman, bapak
dan ibunya semakin jauh dari pandanganku, meninggalkan sekolah, berjalan menuju
tempat pemberhentian bus yang tak jauh dari sekolahku.
Maman dengan dua orang
tuanya pergi dengan naik bus "Maju" ke Kota Muntilan. Kota Muntilan
menjadi tempat tujuan orang-orang desa untuk membeli baju. Kota itu memang
lebih ramai dibandingkan dengan kotaku, Borobudur. Meski telah menjadi kota
kecamatan dan ada Candi Borobudur, kota ini hanya ramai ketika musim liburan
sekolah.
Aku kemudian duduk di batu
di bawah pohon sawo, melamun sambil menanti bel tanda masuk sekolah. Iri
rasanya aku melihat Maman digandeng ibu dan bapaknya.
"Ah, betapa
bahagianya mereka. Maman akan senang dengan memakai baju barunya dan senang
naik bus sambil melihat pemandangan di pinggir-pinggir jalan. Ada rumah-rumah
yang bagus, ada sawah-sawah yang nampak hijau, ada ladang juga pepohonan yang
tumbuh subur di pinggir jalan," begitu gumanku.
Aku segera kembali ke
sekolahku. Ibu Guru sudah di depan pintu kelas sambil membunyikan kelinting,
tanda untuk anak-anak waktunya masuk kelas.
Setelah duduk di bangku
kelas, aku hanya tertunduk diam. Badanku gemetar dan keringatku mulai keluar.
Aku merasa takut, aku lihat teman-teman di sekelilingku memperhatikan aku.
Sepertinya mereka mengejek aku.
Perasaan malu makin
menguat, kepala kutatap-kan di bangku. Mataku pun mulai memerah dan
air mata susah kubendung.
Teman-temanku terus
mengejek aku. Mereka berteriak, "Coro... Coro... Coro...". Tak lama
kemudian, Bu Guru mendekati aku sambil
memberikan dorongan mental dengan kalimat-kalimat sanjungan untukku .
Kata Ibu Guru, "Mas
Sucoro maju!". Aku hanya tertunduk malu. Beberapa temanku terus berteriak
mengejekku. Ibu Guru kemudian menuntun aku maju ke depan kelas.
"Yuk!" katanya
mengajakku.
Akupun tak menolak
perintah Ibu Guru, dan aku segera ke depan kelas untuk menyanyi.
Jujur, aku tidak bisa
menyanyi seperti lagu "Balonku Ada Lima" atau lagu-lagu sejenis
lainnya. Aku hanya bisa "nembang", seperti yang sering diajarkan
bapakku.
Tembang dandanggula aku
nyanyikan, "Lara-lara, laraning wong kang tininggal artha. Kang wus telas
piandele. Lipure lamun yen turu, lamun nglilir sungkawa malih".
Belum selesai aku
menembangkan dandanggula, sambil tertawa Ibu Guru segera menghentikan
tembangku.
"'Sampun, sampun.
Mas, mbok menyanyi mawon. Niku naminipun tembang sanes nyanyian. Mas, itu yang
ngajari siapa?" kata Bu Guru.
"Bapak,"
jawabku.

إرسال تعليق