.
"Begitu lama aku pergi membawa kekecewaan dan kebencian,
kututup rapat beranda hati, tanpa kata yang menghardikku".
Saat itu usiaku masih
sekitar belasan tahun. Aku sadar betul kalau jalan pendidikanku melalui sekolah
kacau. Banyak pelajaran yang tertinggal.
Di benakku sudah tidak ada
keinginan lagi untuk sekolah, karena aku merasa bahwa tanpa sekolah pun aku
sudah punya uang.
Akan tetapi, di sisi lain
aku butuh pengetahuan. Rasanya aku malu kepada temen-temanku yang sudah pandai
membaca.
Aku membeli buku-buku
pelajaran yang aku suka. Aku masih ingat waktu itu, aku kelas V Sekolah Rakyat
(sekarang sekolah dasar, red.). Aku mencoba kembali masuk sekolah setelah
sekian bulan tidak masuk.
Pak Guru Pracaya bertanya,
"Kenapa lama tidak masuk
sekolah?".
"Bosan Pak," jawabku.
"Apa yang menyebabkan
bosan?," katanya.
"Saya pengin cari
uang," kataku.
Aku saat itu memang
berniat untuk kembali ke sekolah, aku ingin seperti
teman-temanku yang pandai. Aku ingin mempunyai ijazah.
Sepertinya, Pak Guru
Pracaya belum mempercayai kata-kataku. Aku diajak ke kantor. Di kantor aku
banyak ditanya mengenai keinginanku untuk kembali ke sekolah.
Aku tetap menjawab, "Pak
terus terang keinginan saya untuk belajar ini serius, karena saya sudah merasa
ketinggalan pelajaran".
"Tetapi sekolahan ini
ada aturannya. Bagi murid yang sudah dinyatakan keluar harus mendaftar
kembali," kata Pak Guru.
"Apa saya harus
kembali ke kelas I lagi pak?," tanyaku.
"Tidak, tetapi harus
ada surat pernyataan dari orang tua," kata Pak Guru.
"Baik Pak, saya akan
sampaikan ke bapak," kataku.
Sambil menundukkan kepala,
aku mencoba memahami apa kata Pak Guru itu. Aku memohon diri, keluar ruangan
sekolah. Lalu berjalan pulang dan kembali ke arena perjudian.
Di tengah keramaian judi,
aku terbesit pikiran kalau Pak Guru tadi sebentar lagi akan datang di arena
ini.
Sambil makan tahu goreng,
aku renungkan kata-kata Pak Guru. Tiba-tiba, di tempat judi itu muncul pikiran,
bahwa tidak ada masalah yang tidak dapat terselesaikan dengan duit.
Tak lama kemudian, Pak Guru
itu datang. Sebelum mendekat ke salah satu arena judi, Pak Guru singgah
terlebih dahulu ke Warung Bu Iman. Mereka yang datang ke arena itu, juga
biasanya seperti itu.
Aku mencoba mendekati Pak
Guru sambil menawarkan rokok. Aku mencoba lagi menyampaikan keinginan untuk
kembali sekolah. Akhirnya, aku diperbolehkan kembali sekolah.
Belum genap satu bulan
rajin sekolah lagi, aku mulai membolos. Melihat keramaian pasar dengan arena
judi yang setiap hari di depan mata, rasanya tak kuasa lagi aku menahan untuk
mengulang berjudi. Aku mulai lagi masuk ke arena judi.
Berpetualang sebagai
penjudi memang sangat berisiko. Tak jarang aku ditangkap, diinterogasi, sampai
ditahan dan dipukul oleh polisi .
Seperti yang terjadi
tatkala sedang buka arena di Pasar Tembarak di Kabupaten Temanggung. Aku
bersama kelompokku, Giyoto, Ipuk, Wileam, Sukir, dan masih ada lainnya yang
tertangkap ketika berjudi.
Aku bersyukur semua yang
tertangkap itu kemudian dilepas oleh petugas, meskipun harus menyuap polisi.
Di sela-sela pekerjaanku
sebagai penjudi, aku teringat hobi masa kecilku, wayang. Saat itu, aku punya
uang yang cukup dan kebetulan salah satu tempat judiku di THR (Tempat Hiburan
Rakyat) Yogyakarta .
Ketika ada waktu luang,
aku mencoba mencari salah satu tempat perguruan ilmu pedalangan di kota itu.
Kata temanku, namanya "Habiranda".
Sementara cita-citaku
untuk menjadi guru sepertinya telah kandas terhantam badai perjudian. Kini aku
mulai menjadi penjudi yang datang dan pergi dari kota ke kota lain untuk
mencari uang. Di arena judi itu, aku anggap mudah mencari uang. Berpetualang
sebagai penjudi, aku jalani sampai puluhan tahun lamanya.
Terkadang terbesit
kesadaranku bahwa semua jalan hidup telah diatur oleh Tuhan. Keberuntungan dan
kesedihan itu semua telah tersirat atas kehendak Tuhan. Manusia hanya bisa
berusaha dan memohon kepada Allah SWT. Tetapi Allah yang akan menentukan semua
yang akan terjadi pada diri manusia.
Berbagai risiko yang
pernah aku hadapi saat berpetualangan sebagai penjudi, ternyata mendorong aku
untuk selalu mengantisipasi diri, misalnya dengan mencari berbagai ilmu
kekebalan tubuh dan mendatangi paranormal serta dukun.
Niatku untuk belajar
mendalang tak pernah padam, cita-cita menjadi guru telah terbenam lumpur
perjudian, sedangkan tantangan sebagai penjudi terus mendesak-desak.
Berbekal dadu dan kartu
remi, aku mencoba mengadu nasib ke berbagai kota di Jawa. Aku hidup sebagai
petualang judi, hinggap di satu kota dan seakan terbang ke kota lain.
Petualanganku itu, bagai merajut pengalaman dan menganyam kisah suka serta
duka.
Mungkin itulah suratan
takdirku. Aku berpetualang sebagai penjudi, sering berurusan dengan polisi. Tak
jarang aku menjumpai seorang penjudi yang tengah berurusan dengan polisi,
kemudian menjadi lahan pemerasan polisi. Kejadian itu sering membuatku geram, meskipun harus aku tahan.
Biasanya, ketika terjadi
penggerebekan arena perjudian oleh polisi, petugas itu hanya meminta "uang
rokok". Kalau sudah ada yang memberi "uang rokok", mereka lalu
pergi dan perjudian berlanjut.
Hidup sebagai petualang judi aku jalani
selama 15 tahun. Selama itu pula, aku belajar mencari makna hidupku . Di sela
bermain judi, aku gunakan waktu untuk membaca buku-buku yang sedang aku suka,
baik tentang hukum, politik, dan kejawen.
Dari buku-buku itu, aku
menjadi sedikit tahu tentang hukum, politik, dan lain-lain. Tidak sadar, aku
juga menjadi belajar tentang psikologi. Dari membaca buku itu, aku bisa
mengenal penulisnya.
Melalui buku-buku itu,
secara otodidak aku belajar meski dengan modal akal dan nalar yang terbatas.
Tentu saja, banyak tulisan di buku-buku yang aku santap, tak kumengerti,
terlebih yang berbahasa asing. Akupun kemudian menyadari harus mengandal-kan akal dan nalar untuk
memahami.
Ketika sedang senang
belajar persoalan hukum, kadang aku tanya hal-hal itu kepada Mas Farid atau Mas
Hadi Wahono, Marjadi, Acim, dan kawan-kawan yang aku kenal di Kantor Kelompok
Studi dan Bantuan Hukum di Jalan Brigjen Katamso Nomor 57 Yogyakarta. Kebetulan
kantor itu, relatif tidak jauh dari THR Yogyakarta, yang waktu itu menjadi
tempat perjudian kelas tinggi.
Dan aku, sering ke tempat
itu.

إرسال تعليق