.
Aku terlahir pada 28 September 1951 dari simbokku yang tinggal
tak jauh dari kaki candi yang ajaib itu. Tepatnya di Dusun Ngabean, Desa
Ngadiharjo, Kecamatan Borobudur.
Bapakku bernama Tomorejo.
Dia menikah dengan Sariah. Dari pernikahan itu, lahirlah aku. Bapakku meninggal
dunia pada 1955, selang tiga hari setelah pemilu pertama Indonesia. Dia
dimakamkan di kampung halamannya di Purworejo. Simbokku kemudian pergi ke
Jakarta untuk bekerja sebagai juru masak di instansi TNI Angkatan Laut.
Selanjutnya, aku diasuh oleh pasangan suami-isteri, Muksin (Setro
Wikrama) dan Suwarsini (Mbok Sini). Pasangan itu tidak mempunya anak. Dan aku
selanjutnya menganggap mereka sebagai bapak dan simbokku.
Menurut tetangga dekatku, bapak kandungku seorang seniman berasal
dari Kecamatan Bener, Kabupaten
Purworejo. Ketika itu, dia sedang mengadakan pentas ketoprak amal di suatu
barak sebelah timur Candi Borobudur.
Pertemuan antara bapakku
dengan simbokku yang kemudian menjadi kisah cinta mereka, diawali dari suatu
pertemuan yang tak terduga. Itu menurut simbokku.
Sebelumnya, simbokku
memang telah janda untuk yang kedua kalinya, setelah perkawinannya dengan Pak
Harjo Dhung dan Pak Suro berakhir dengan perceraian.
Entah siapa yang mulai
kisah cinta mereka, yang pasti menurut
tetanggaku, itu terjadi bermula ketika simbokku sering mengantar penganan
berupa gorengan ke barak ketoprak tersebut.
Saat itu, memang simbokku
berjualan gorengan di tempat yang tak jauh dari barak ketoprak, sehingga dari
sering bertemu dengan bapak dan kemudian berlanjut ke pelaminan, hingga cinta
mereka membuah-kan aku.
Menurut cerita Mbah
Lameno, barak itu memang tidak terlalu besar. Rumah Mbah Lameno tak jauh dari
barak ketoprak.
Setiap malam, ketoprak
tobong itu menyuguh-kan cerita-cerita yang menarik, sehingga
setiap malam, barak itu penuh dengan penonton. Banyaknya pemain kondang yang
tampil di setiap pementasan ketoprak, membuat masyarakat tertarik menyaksikan
kesenian itu, sehingga setiap malam tidak pernah sepi penonton.
Kecantikan seniwati,
seperti Ibu Samirah telah membuat penonton saling berebut untuk memberikan
saweran. Tidak sedikit penonton yang mabuk kepayang terhadap kecantikan Ibu
Samirah.
Selain Ibu Samirah, ada
lagi pemain yang dikenal, seperti tokoh lawak Pak Ramut. Ia pandai dalam
memberikan lawakan.
Menjadi seniman ketoprak
memang waktu itu masih memberikan kesejahteraan para pemainnya.
Ketoprak Ngesti memang
sangat terkenal, tidak hanya di sekitar kota kecilku, di Borobudur, akan tetapi
juga di kota-kota lain.
Ketoprak tobong yang satu
itu, memang sangat terkenal di beberapa kota di Jawa Tengah dan Yogyakarta yang
identik dengan "Kota Budaya". Kota yang mencerminkan semangat kebudayaan luhur.
Hal itu, setidaknya jika
membaca fakta hingga saat ini usiaku telah 60 tahun, Yogyakarta masih bisa dikatakan
sebagai "Kota Budaya". Keriuhan jalan raya, masih terdapat nama-nama
jalan yang sarat dengan nama Jawa. Apalagi nama itu ditulis dengan huruf Jawa.
Juga keramahan warga. Di setiap sudut kota sangat terasa tatkala orang
menanyakan sesuatu kepada mereka.
Menurut tetanggaku, yang
pasti aku sejak kecil diasuh oleh Pak Muksin dan Mbok Sini. Mereka selalu dekat
denganku sejak masa kecilku. Merekalah yang membesarkan aku.
Mereka tidak mempunya
anak, sehingga aku diangkat menjadi anaknya. Pendek kata, aku di kalangan
keluarga sebagai anak tunggal. Kalau dalam cerita wayang, aku disebut anak
"ontang-anting".
Waktu aku masih kecil,
simbokku menjual kue bandos di pasar sebelah rumahku, sedangkan bapakku buruh,
sebagai tukang kayu yang tiap hari berangkat pagi dan pulang sore.
Aku tak tahu berapa keping
uang logam yang bapak terima setiap hari dari pekerjaan itu. Yang pasti, hampir
tiap pagi sebelum bapak berangkat kerja, aku diberi uang ringgit bergambar
"nyonya".
Meski dengan penghasilan
yang pas-pasan, simbokku selalu memanjakan aku. Hampir setiap pagi hari, aku
dibelikan nasi dengan lauk kepala ayam kampung. Simbokku membeli nasi itu di
warung Mbok Suro Gatot, di pasar sebelah rumahku.
Terkadang pesanan lauk kepala ayam dari simbokku itu, harus
berebut dengan Kang Mardi, anak Mbok Suro Gatot. Maklum warung di pasar desa,
jadi persedian pun juga terbatas.

Posting Komentar