.
Sebagai kota kecamatan, Borobudur waktu itu masih sepi, meskipun
terdapat peninggalan sejarah yang begitu indah, yakni Candi Borobudur.
Banyak orang datang untuk
mengunjungi Candi Borobudur. Kebanyakan mereka berziarah, membakar dupa atau
kemenyan dan meletakkan bunga di halaman candi. Tak jarang, ada juga yang
melakukan semadi di tempat itu.
Tentunya keinginan mereka
yang berziarah di Candi Borobudur berbagai macam, antara lain untuk mendapatkan
kesejahteraan, kenaikan pangkat, bahkan ada yang meminta untuk dikaruniai anak.
Aku ingat, ada pengunjung
berasal dari India, sayangnya namanya aku sudah tidak ingat lagi.
Dia berkunjung ke Candi
Borobudur untuk meminta keturunan, karena setelah cukup lama menikah, mereka
belum mendapatkan keturunan.
Setelah menyampaikan
keinginan itu kepada salah seorang pegawai Purbakala, mereka menemui Mbah Dirmo
yang oleh banyak orang sebagai sesepuh atau juru kunci Candi Borobudur.
Mbah Dirmo bersama tamunya
berasal dari India tersebut, kemudian menuju satu relief yang oleh kebanyakan
orang disebut sebagai "Kiai Brayut". Mbak Dirmo mendampingi pasangan
suami istri itu berdoa di tempat tersebut. Selanjutnya mereka pulang ke
negaranya.
Beberapa tahun kemudian, pasangan
suami istri itu datang lagi ke Candi Borobudur, menemui Mbah Dirmo. Mereka
bertiga kemudian menemui Kepala Desa Borobudur yang waktu itu dijabat oleh Pak
Muhadi.
Pasangan suami istri itu
menyampaikan niat untuk mengadakan syukuran karena mereka telah mendapat
karunia, seorang anak laki-laki yang saat itu telah berusia lima bulan.
Syukuran berupa kenduri
dan pentas wayang kulit, berlangsung tujuh hari tujuh malam. Hampir semua
dalang dari Yogyakarta diundang untuk pentas di kediaman Pak Kades Muhadi di
Dusun Cawangsari, Desa Borobudur.
Mereka percaya peran Mbah
Dirmo sebagai juru kunci Borobudur. Mbah Dirmo dianggap mereka sebagai
perantara turunnya berkah untuk pasangan itu mendapatkan keturunan. Mbah Dirmo
dianggap juga sebagai pendeta.
Sehari-hari, Mbah Dirmo
menjadi tukang pijat. Istrinya berjualan bubur di Pasar Borobudur. Mbah Dirmo
menghabiskan waktunya di sekitar candi. Banyak orang memanfaatkan jasanya
sebagai tukang pijat di Candi Borobudur, seperti pegawai Purbakala yang setiap
hari membersihkan candi, pedagang, pelancong, dan peziarah.
Kondisi Candi Borobudur
pada era 1960-an memang masih tampak terkesan sakral. Banyak orang datang untuk
mendapatkan berkah.
Untuk menuju Candi
Borobudur, pengunjung melewati pintu masuk sebelah barat. Jalannya menanjak
dengan lebar kurang lebih tiga meter. Setelah sampai di halaman candi, ada satu
pesanggrahan berupa rumah berbentuk bangunan joglo, berukuran kurang lebih 12 x
10 meter. Itu bangunan peninggalan zaman Belanda.
Pesanggrahan tersebut
untuk tempat menerima tamu. Banyak penjabat negara baik dari dalam maupun luar
negeri, transit di tempat tersebut, apabila berkunjung ke Candi Borobudur.
Di sebelah pendopo
pesanggrahan yang agak dekat dengan Candi Borobudur, persisnya sebelah barat
candi, ada warung kecil milik Bu Lasinah --istri Pak Tasman, Pak Suta Warna, Bu
Subarna, Bu Partini.
Ada juga pohon kenari yang
menjulang tinggi. Di sebelah timur, ada pohon bodhi. Di bawah pohon itu ada
patung Buddha yang digunakan untuk semadi pada acara Waisak setiap tahun.
Di sebelah timur laut, ada
makam Dusun Ngaran yang oleh masyarakat sekitar disebut "Makam
Njaten".
Selain pohon kenari dan
bodhi, ada pohon asam yang tumbuh subur di sebelah utara candi.
Pada 1974, tempat parkir
kendaraan pengunjung candi di pindah ke sebelah utara, kemudian jalan masuk
menuju ke candi melalui timur. Waktu itu, oleh masyarakat disebut
"Terminal Pereng" karena posisinya miring atau di lereng.
Di sebalah barat laut, ada
bukit, yang dinamakan "Bukit Dagi". Di bukit itu terdapat banyak
pohon mangga dan kelapa. Saat musim mangga, banyak anak Borobudur bermain di
bukit itu, sampil melempar mangga.
Panjang jalan dengan
status jalan provinsi yang menghubungkan
dengan kotaku di Borobudur waktu itu hanya 18 kilometer dari Kota Muntilan,
atau 17 kilometer dari Kota Magelang menuju Candi Borobudur.
Pada 1955-1980, pusat
pemberhentian kendara-an hanya ada di depan Pasar Borobudur. Untuk
menuju Candi Borobudur masih sekitar 400
mater lagi. Biasanya pelancong yang ingin berkunjung ke Candi Borobudur
menggunakan andong atau dokar. Jumlah andong dan dokar di Borobudur waktu itu
masih relatif sedikit, kurang lebih 15 andong dan empat dokar.
Beberapa oplet juga sering
mangkal di kotaku, Borobudur. Nama-nama, seperti Bah Liat, Pak Mawardi, Pak
Sahri, dan Pak Sukar adalah para sopir oplet itu, dan sebagian juga pemilik
angkutan tersebut.
Sederet los
Pasar Borobudur yang ada, banyak diisi berbagai barang dagangan, antara
lain los paling depan ada kain jarit dan sarung, celana, kaos, peci, dan
pakaian.
Di barisan los depan
sebelah timur, terdapat tempat berjualan gula, teh, roti, dan rokok. Waktu itu
produk rokok masih banyak yang dibuat sendiri secara tradisional atau sering
disebut "Tingwe" (linting dhewe atau dilinting sendiri). Penjual
rokok "tingwe" yang dikenal saat itu, Mbah Wiro Tejo dan Bu Rakim.
Selain itu, kios roti yang
terkenal milik Bu Joko.
Pasar Borobudur yang
luasnya kurang lebih dua hektare itu dipagari dengan kawat dan deretan pohon
waru. Pasar itu memang pusat perekonomian setingkat kecamatan.
Dari situlah nama Pasar
Ngaran itu lahir, karena lokasinya bersebelahan dengan Dusun Ngaran, meskikun
secara nyata, pasar tersebut terletak di Dusun Kenayan. Bangunan pasar itu,
terdiri atas enam blok berupa los. Setiap los berukuran kurang lebih 4 x 16
meter.
Aktivitas di pasar
tersebut berkembang pesat sehingga para pedagang memanfaatkan tanah warga
sekitarnya untuk berjualan.
Di dalam pasar tumbuh
pohon beringin besar, yang konon berusia sudah ratusan tahun.
Posting Komentar