.
Rasanya sulit dipercaya ketika aku mencoba menuliskan cerita ini.
Hampir semua narasumber yang layak untuk memberikan informasi dan konfirmasi
telah banyak yang meninggal dunia.
Aku mencoba tak patah
semangat untuk membagikan pengalamanku terkait dengan kepartaian.
Usiaku telah 16 tahun. Aku
merasa sudah beranjak dewasa, mulai senang dengan persoalan politik dan
sekaligus mulai mengenal wanita. Aku sering ikut dalam pertemuan-pertemuan yang
diadakan oleh salah satu partai politik. Partai Demorasi Indonesia (PDI).
Aku bersama kawan-kawanku
bergabung dalam wadah PDI, karena aku sebelumnya suka dengan Partai Nasional
Indonesia (PNI) pimpinan Ir. Soekarno. Aku tertarik dengan pandangan
kebangsaannya. Soekarno memang pantas menjadi sosok pemimpin nasional.
Ketika muncul putri Bung
Karno, Ibu Megawati Soekarnoputri, aku mendukungnya.
Rupanya tekadku untuk
menjadi pendukung Ibu Megawati mendapat jalan. Pada 1976, aku dipercaya menjadi
Pembantu Pengurus Cabang Kecamatan Borobudur, yang dahulu disebut sebagai
"Ban Korcam", bersama Pak Sudadi sebagai ketua pengurus anak cabang.
Kemudian pada 1982, aku
masih dipercaya menjadi sekretaris PDI bersama ketuanya Pak Muhamid dan pembantu
Pak Usman, Pak Suprih, Pak Haryanto, Pak Tri Raharjo, Pak Nurkodir, dan Pak
Suharto.
Tugas menjabat sebagai
Sekretaris PAC PDI aku jalani hingga 1997. Tentunya banyak pengalaman aku
peroleh dalam berpolitik. Aku dapat belajar banyak melalui pergaulan dengan
sesama rekan pengurus maupun anggota partai, tentang bagaimana memahami visi
dan misi PDI, serta menjalankan tugas sebagai pengurus partai.
Aku mengerti dengan baik
bahwa PDI merupakan penggabungan dari beberapa partai politik era Soekarno,
yaitu PNI, IPKI, PARKINDO, Partai
Katolik, dan MURBA. Partai-partai itu berfusi menjadi PDI pada 1973. Partai
Demokrasi Indonesia adalah organisasi politik yang mengusung gagasan-gagasan
Soekarno,
Pada awalnya, aku bertugas
menjadi pengurus partai, tentu masih susah, apalagi menyesuaikan dengan
pendahulunya, seperti Pak R.B. Sudadi. Akan tetapi, aku mencoba bekerja
semaksimal mungkin. Alhamdulilah, sejak masa kepengurusanku, banyak yang dapat
diperbuat, antara lain pembentukan kepengurusan tingkat desa. Seluruh desa di
Kecamatan Borobudur, waktu itu sudah terbentuk kepengurusan.
Kegiatan yang boleh
dikatakan secara aktif, yakni hampir setiap bulan ada pertemuan dengan tempat
bergantian sehingga semua jajaran pengurus tingkat desa maupun ranting atau
tingkat dusun menjadi aktif.
Memang diakui masih ada
beberapa pengurus yang kurang disiplin, akan tetapi ada juga yang militan dalam
mengelola organisasi. Itu biasa.
Akan tetapi, secara umum,
seluruh pengurus PDI Kecamatan Borobudur di bawah ketua PAC Pak Muhamaid dan
aku sebagai sekretaris yang sebutan kerennya saat itu "sekjen", sudah
berusaha semaksimal mungkin mengelola organisasi yang masih kecil itu, agar
lebih bermanfaat untuk bangsa dan negara.
Di benakku terkadang
muncul pertanyaan. Apakah kira-kira 10 tahun yang akan datang, PDI itu akan
dapat menjadi partai besar, atau mungkin partai berkuasa di negeri ini. Bila
terwujud, apakah aku masih akan dipakai dalam kepengurusan, setidaknya dapat
ikut menikmati hasil perjuangan.
Mengemban tugas-tugas
partai ternyata cukup berat. Seorang pengurus partai harus mempunyai
pengetahuan yang lebih banyak dan luas, setidaknya dapat memahami visi dan misi
partainya.
Upaya pengembangan partai
pasti jauh lebih berat karena tidak hanya menyangkut persaingan dengan lawan
partai, akan tetapi juga terkait dengan penggunaan teknologi yang semakin
berkembang pesat.
Yang namanya kampanye,
tidak lagi cukup di lapangan sepak bola atau gedung-gedung, akan tetapi sangat
memungkinkan lewat televisi dan koran-koran. Pengaruhnya akan makin cepat
sampai pelosok desa.
Komunikasi juga akan
semakin canggih, sedangkan aku akan semakin tua dan tidak mungkin dapat
mengimbangi tuntutan zaman.
Belum lagi tuntutan
kebutuhan ekonomi, kebutuhan rumah tangga yang akan terus semakin berat. Bisa
jadi, orang atau simpatisan partai akan menuntut pemenuhan kebutuhan yang
sebetulnya menjadi kebutuhan pribadi.
Tidak mudah menjadi politisi desa seperti yang aku alami. Mencari
teman untuk diajak mengembangkan partai menjadi tugas utama, agar ke depan PDI
semakin mendapat kepercayaan rakyat.
Kecintaanku terhadap PDI
sepertinya telah terbentuk sejak usiaku sekitar 11 tahun. Ketika aku menulis
cerita ini, masih segar diingatanku tentang apa yang terjadi waktu itu. Bila
dirasakan, sepertinya saat itu nyawa orang sudah tidak berharga lagi.
Satu peristiwa politik
yang saya anggap sangat luar biasa. Pergulatan politik waktu itu,
sungguh-sungguh bertaruh nyawa. Yang namanya melihat orang mati di
pinggir-pinggir jalan, menjadi pemandangan biasa.
Orang diikat lalu diarak
ke kantor kecamatan dan kantor polisi. Suara orang minta tolong, menjerit,
menangis, suara orang kesakitan hampir setiap hari terlihat di jalan utama
menuju pusat kota Borobudur.
Setiap malam, suasana
mencekam, raungan anjing terdengar seakan mencari korban. Aku betul-betul tidak
tahu, mengapa mereka melakukan kekerasan dan kekejaman hanya untuk mendukung
kekuasaan yang belum tentu menghasilkan manfaat untuk dirinya. Meski waktu itu
usiaku masih sekitar 11 tahun, aku sudah berpikir cukup dalam melihat kenyataan
yang ada.
Waktu itu aku sempat
bertanya kepada bapakku tentang kesalahan orang-orang itu dan bapakku tidak
menjawab pertanyaan itu. Dia hanya menggelengkan kepalanya. Saya merasakan ada
yang disembunyikan oleh bapakku setelah mendengar pertanyaanku.
Aku menjadi ingat sudah
sekitar lima bulan, tetangga sekampungku tidak lagi main ke rumah. Aku
menduga-duga, jangan-jangan ada hubungannya dengan arak-arakan itu.
Waktu itu, aku sempat
mendengar kabar bahwa ada orang-orang di dusunku yang "dibeku" atau
bahasa sekarang dicekal karena dianggap tidak beragama atau mungkin ikut aliran
tertentu yang dianggap berhubungan dengan PKI.
Memang bapakku tidak
pernah ke masjid waktu itu karena mempunyai pemahaman tersendiri dalam berbakti
dan menghormati Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi, aku pikir, bapakku tidak ada
hubungannya dengan gerakan PKI yang katanya dilarang oleh pemerintah.
Sepertinya, orang-orang
yang tidak pernah ke masjid telah menjadi sorotan tajam. Bahkan, waktu itu
sampai ada kalimat bahwa orang-orang itu "dibeku" alias tahanan rumah
atau diawasi, ada juga beberapa orang sempat harus wajib lapor ke koramil.
Di dusunku memang ada
beberapa penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, seperti Adamakripat
dan aliran lainnya.
Aku tidak tahu, mengapa
orang yang telah menjunjung tinggi kasih Tuhannya dilarang. Bapakku memang suka
memelihara rambut hingga panjang dan aku setiap hari boleh dikata diajari
selalu berbakti dan menghormati Tuhan Yang Maha Esa.
Di sisi lain, aku juga
menyesuaikan diri dengan teman-teman, untuk belajar mengaji. Aku ingat ketika
belajar mengaji sampai di Dusun Sabrangrawa yang jauh dari rumahku.

Posting Komentar