.
Sabdha Mbok Tomblok
Pernyataan sikap mereka
tertuang dalam surat bermeterai Rp 500.
Surat pernyataan tersebut ditandatangani secara bersama-sama oleh seluruh warga
yang akan terkena pembebasan tanah. Sebagai bukti atas dukungan terhadap
pembangunan Taman Wisata Candi Borobudur, masyarakat akan menyumbangkan pemikiran, saran, dan
pendapat agar pembangunan taman wisata tersebut, diarahkan ke utara dan selatan
candi, dengan menggunakan tanah-tanah kosong atau tegalan. Dengan
demikian, areal pemukiman yang dihuni
oleh sekitar 380 warga tidak tergusur.
Menurut warga, apabila taman wisata itu dibangun di sisi
utara dengan menggunakan tegalan milik warga sekitar, kemungkinan Candi
Borobudur itu akan tampak lebih indah. Dan dari sisi pemandanganya pun, akan lebih menarik karena monumen peninggalan
nenek moyang itu, tampak dengan latar belakang Pegunungan Menoreh. Pernyataan
sikap yang disertai dukungan warga yang terancam tergusur tersebut akan segera
disampaikan kepada Panitia Pembebasan Tanah dan PT Taman Wisata Candi Borobudur
sebagai bentuk dukungan terhadap rencana pembangunan dan pelestarian candi
tersebut.
Berbagai ide masyarakat
yang tidak sependapat dengan rencana tersebut terus bermunculan. Salah satunya
untuk membentuk peguyuban, termasuk mengadakan arisan keluarga. Semua kegiatan tersebut untuk memudahkan
komunikasi antarwarga, baik mereka yang tinggal di Dusun Kenayan, Ngaran
Krajan, Gopalan, Sabrangrawa, maupun Gendingan. Yang paling kompak saat itu,
adalah warga Dusun Kenayan dan Ngaran Krajan, karena kedua dusun tersebut
nyaris habis tergusur.
Berbagai pos ronda yang
sebelumnya hanya terisi pada setiap menjelang Lebaran atau Bulan Puasa, mulai
ramai menjadi tempat berkumpul warga, jalan-jalan yang tidak pernah dilewati
juga dibersihkan agar nampak bersih dan rapi, lampu penerangan jalan yang mati,
kemudian diperbaiki
Pendek kata,
masyarakat khususnya Dusun Kenayan dan Ngaran Krajan hampir setiap hari kerja
bakti.
Pertemuan kembali
diselenggarakan oleh Panitia Pembebasan Tanah dengan tema "Temu
Gagasan". Pertemuan tersebut
diselenggarakan di Pendapa Candi Borobudur. Dalam pertemuan pada 8 Maret,
kembali warga menyampaikan keinginannya untuk tetap tinggal di zone II dan
bersedia menyesuaikan rumahnya dengan
konsep pembangunan Taman Wisata Candi Borobudur, sesuai dengan tingkat
kemampuan warga, seperti bentuk bangunan rumah joglo atau arsitektur Jawa kuno,
menaman bunga, dan lain sebagainya. Hal itu dijawab oleh Pak Boediardjo,
"Gagasan masyarakat itu ternyata kurang tepat, karena mengapa taman wisata
ini dibangun ke arah timur. Karena Candi Borobudur itu sebetulnya menghadap ke
arah timur, sehingga arah pembangunan
taman wisata kembali mengikuti pola pembangunan sebelumnya". Kondisi
saat itu, rumah-rumah warga memang berserakan, tak teratur, tidak memadai untuk
idealnya suatu taman wisata yang tentunya megah.
Menanggapi penolakan
warga, Pak Boediardjo mengatakan, "Memang rencana baik itu tidak mudah
dipahami, perlu sosialisasi dan pendekatan yang manusiawi. Penolakan masyarakat
wajar karena ia belum memahami, dikarenakan kurangnya sosialisasi di kalangan
masyarakat terhadap pentingnya pembangun-an Taman Wisata Candi
Borobudur".
Alasan warga untuk
mempertahankan keinginannya sebagai sesuatu yang wajar. Mereka merasa bahwa
kehidupan mereka telah menyatu dengan alam
lingkungan yang menghidupinya selama ini.
Sebagai contoh, tentang
pengakuan beberapa penderes kelapa. Pekerjaan itu sebagai mata pencahariannya
selama ini. Cukup banyak penderes tersebut yang tidak mempunyai pohon kelapa
sendiri. Ia hanya buruh, akan tetapi kebersamaan sosial yang telah mereka lakukan
selama bertahun-tahun sehingga pembagian pengha-silannya pun tetap bisa saling
menguntungkan. Muncul pertanyaan tentang bagaimana kehidupan para penderes
kelapa itu kelak, setelah menempati pemukiman baru, padahal pohon-pohon kelapa
itu kenyataannya bukan milik mereka. Belum lagi, apakah di tempat yang baru nantinya ada pohon
kelapa. Kalau ada, pembagaian hasilnya tidak akan sama dengan yang telah
dialaminya selama ini.
Menanggapi
pertanyaan-pertanyaan itu, Pak Boediardjo mengatakan bahwa pohon-pohon kelapa
tidak akan ditebang. Bahkan, ia menjanjikan lapangan kerja, mengajarkan kepada
warga agar dapat memanfaatkan rumah-rumah mereka untuk penginapan. Selain itu, Pak Boediardjo juga
menanggapi kekhawatiran kalangan pedagang yang setiap hari berjualan di sekitar
Candi Borobudur. Mereka akan ditampung di kios-kios baru yang dibangun di zona
II. Mereka akan mendapatkan prioritas untuk penempatannya.
Alasan lain yang
disampaikan oleh warga bahwa mereka sudah telanjur mencintai tanah kelahiranya
sebagai tanah leluhur. Kecintaan mereka, seolah-olah terbukti dengan suatu
peristiwa, ketika turun keputusan pembebasan tanah untuk taman wisata itu. Seorang
warga Kenayan, Mbok Tomblok kesurupan roh pelindung dusun setempat. Saat kesurupan
itu, ia mengatakan bahwa bupati (penguasa) yang akan membersihkan Dusun Kenayan
dan sekitarnya akan mendapat laknat.
Posting Komentar