Upacara Adat Dusun Merapisari MENTOKAN

Borobudur yang dibangun pada masa kejayaan Wangsa Syailendra dan didirikan oleh Raja Samaratungga merupakan wujud persembahan suci rakyat kepada penguasanya. (Manusia dan Tuhannya).  

Keberadaan Candi Borobudur secara geografis terletak di antara Gunung Sumbing, Sindoro, Merbabu,Merapi dan pegunungan Menoreh. Candi Borobudur sebuah monumen persembahan suci tersebut dibuat dari batu andesit yang berasal dari Gunung Merapi maupun Sumbing melalui aliran Sungai Progo, Elo, Pabelan, Tangsi di sebelah barat.

Oleh karenanya apabila kita amati pada waktu tertentu dapat kita lihat pada terbitnya Matahari yang melatarbelakangi Gunung Merapi kemudian Mendut, Pawon Borobudur dan terbenam di laut kidul. Garis situs “ Imajiner “ ini dapat kita lihat dari Punthuk Setumbu dan garis situs imajiner ini menjadi simbol; filosofis yang melambangkan keseimbangan hubungan manusia dengan sesama makhluk hidup yang saling hidup menghidupi serta manusia dengan alam. Gunung Merapi, Mendut,Candi Pawon, Candi Borobudur hingga Pantai Selatan yang menjadi ujung - pangkal garis imajiner, yang selaras penggambaran ukiran pada relief pada dinding candi Borobudur yang mengisyaratkan perjalanan hidup manusia.sebagai Kamadhatu, Rupadhatu dan Arupadhatu. Salah contoh lain adalah garis imajiner Merapi-Kraton Yogyakarta dan Laut Kidul juga bisa dilihat dalam tata ruang Kraton Yogyakarta. 

Kesuburan alam pegunungan Merapi menjadi saksi bahwa kesuburan masyarakat zaman itu sudah amat sangat menyejahterakan, serta memberi ilmu pengetahuan tentang hidup dan kehidupan. Kedekatan hubungan antara Gunung Merapi dan masyarakat sekitar secara turun tumurun telah menjadi salah satu bagian inspirasi karya ukiran pada bagian dinding relief Candi Borobudur selain perjalanan Sang Maha Agung Sidharta Gautama.

Kedekatan, kecintaan terhadap Merapi juga dilambangkan sebagai “mitos Mbah Petruk” yang dipahami betul oleh warga sebagai sosok penguasa Merapi yang benar-benar hidup di antara kehidupanya.Wujud kedekatannya dengan menyebut “ruh” “penguasa” Gunung Merapi sebagai Mbah Petruk. Sebutan ”mbah” di sini dipakai karena Gunung Merapi dianggap sebagai kakek, nenek moyang, yang telah mengasuh dan menghidupi. Oleh karenanya ketika Gunung Merapi erupsi masyarakat menganggap bahwa Mbah Petruk baru punya hajat. Di setiap erupsi Merapi, masyarakat memaknai sebagai pengalaman istimewa yang memberi pengetahuan bagi mereka untuk tidak kaget ketika menghadapi musibah yang diisyaratkan sebagai cobaan hidup, musibah kehidupan. ”Dari peristiwa ini anak-anak belajar, menempa mentalnya menjadi lebih kuat, dan para orangtua senang karena memiliki pengalaman yang akan disimpan dan diceritakan bahkan diajarkan  kepada anak-cucu,”

Erupsi Merapi merefleksikan sebagai guru yang sedang mengajarkan kemanusiaan, ilmu pengetahuan, dan politik bahkan keilmuan lainnya. Artinya, bencana letusan Merapi menjadi pepadhang atau pencerahan hampir di semua lini kehidupan. Sebagai guru kemanusiaan, yang terus menerus menebarkan kecintaan. Merapi menggerakkan dan merangkul semua manusia dari setiap golongan dengan saling berbagi kasih. Tujuannya, berbagi hidup dan menyelamatkan warga kaki Merapi yang menjadi pengungsi.

Pada saat erupsi, para petani menghentikan aktivitasnya sehingga bakal terjadi kemacetan penghasilan. Ekonomi kerakyatan mati. Namun, mereka tidak pernah memberontak dan menyalahkan Merapi. Muncul pertanyaan, benarkah mereka menghayati peristiwa erupsi? Merapi sebagai pengorbanan berpengharapan? ”Para petani rela tanamanya rusak dan ternak hewan peliharaanya  mati akibat abu dan awan panas, mereka pun rela mengungsi berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Tetapi, dalam hati muncul keyakinan kesuburan akan datang. Itulah doa pengharapan, 

Letusan Merapi juga merupakan guru politik ketika keadilan semua masyarakat kaki Gunung Merapi terpenuhi. Setiap kali menyemburkan awan panas, Merapi membagikan abu juga bebatuan  hingga ke wilayah yang jauh darinya. Namun demikian perlu berpikir positif membangun peradaban baru pascaerupsi karena abu vulkanik juga mendatangkan kesuburan. Membangun peradaban pasca letusan inilah yang membutuhkan keputusan politik pemerintahan. “Merapi mengetuk nurani politik para penguasa yang pada zamannya adalah Raja. Jika pada saat itu berdiri Raja Samaratungga beliaulah yang berkewajiban memberikan keputusan atau perintah,”

Kecintaan terhadap Merapi tercermin juga sikap dan keyakinan Warga Desa Keningar Kecamatan Dukun ketika mengalami musibah kehidupannya, mereka harus mengungsi dan berakhir bedhol Desa menuju Dusun Wonolelo Desa Ngablak yang kemudian  menamai dusunnya menjadi Dusun Merapisari

Demikian pula Borobudur yang bangunanya berasal dari batu-batu Merapi, dan Borobudur pernah terkubur karena letusan gunung Merapi, itu diakui sebagai “ peninggalan leluhurnya “ meski pemaknaanya berbeda-beda .Namun tetap dalam rasa persatuan ,kebhinekaan tunggal ika yang satu Nusa satu Bangsa dan satu Bahasa Indonesia


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama