.
Seiring dengan berjalan waktu, setelah pemugaran candi Borobudur
yang diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 23 Februari 1983, kini kalimat
"Demi kelestarian Candi Borobudur", semakin tidak jelas.
Aku sudah tidak lagi dapat
membayangkan, apakah kelak pada 2983 bangsa ini akan memperingati suatu
peristiwa besar. Peringatan bahwa pemerintah Indonesia bersama UNESCO telah
melakukan upaya pelestarian terhadap monumen peninggalan Dinasti Syailendra
itu.
Peran serta masyarakat
yang telah mengorbankan tanah maupun bangunannya dalam upaya melestarikan Candi
Borobudur semakin terabaikan.
Kisah warga tergusur
agaknya telah menjadi cerita yang harus ditutupi dengan alasan untuk
kelestarian warisan peradaban dunia. Agar aroma busuk sosial dan berbagai
masalah sebelumnya tidak lagi menusuk hidung.
Walau mungkin kita amat
sayup-sayup akan masih dikenang sebagai bangsa
yang telah melakukan sesuatu terhadap warisan budaya bangsanya, kemudian
masyarakat yang telah mengorbankan tanah maupun bangunannya untuk mendukung
upaya pelestarian sang candi itu, akan
diakui sebagai pahlawan pelestarian. Dan anak cucu akan mendapatkan sesuatu
atas jasa-jasa serta pengorbanan orang tuanya.
Atau mungkin bangsa ini,
sudah tidak lagi ada ingatan soal peran serta masyarakat dalam pelestarian
Candi Borobudur.
Kiranya wajar apabila
masyarakat sekitar berharap bahwa kehidupannya ke depan semakin baik atau makin
sejahtera dengan menambatkan hidup pada salah satu potensi budaya, warisan
nenek moyangnya.
Sepertinya mimpi tentang
kehidupan masyarakat Borobudur itu aku anggap wajar kalau menjadi kenyataan,
dengan potensi budaya masyarakat dapat berjalan secara dinamis seiring dengan
nilai budaya warisan nenek moyangnya.
Harapannya tentu kemajuan
Borobudur berimbas kepada kesejahteraan masyarakat yang semakin maju, semakin
berkembang menapaki wujud dari suatu makna kehidupan yang layak.
Akan tetapi, yang aku
lihat sampai saat ini, harapan untuk perkembangan kawasan Borobudur itu menjadi
semakin bias dan tak terarah, atau bahkan menjadi stagnan.
"Stagnan", itu
mungkin kalimat yang cocok karena kehidupan masyarakat yang sudah menjadi irama
rutin, seperti mesin pabrik yang semua sudah diatur, tertata dalam mekanisme
kerja politik yang sudah terbaca.
Kadang-kadang aku
menyalahkan diri sendiri. Mengapa ku harus melibatkan diri dalam proses
pergulatan yang "serba abu-abu". Kenapa aku selalu setia dalam
mengawal proses ini, bahkan selalu mengabadikan setiap isu yang berkembang,
meski hanya memakai kamera foto dan video yang sangat sederhana .
Meskipun kadang aku
ketinggalan informasi atau mungkin
informasi itu kurang lengkap sekalipun, tetap aku catat dalam komputerku yang
sangat terbatas ini.
Demi lestari Candi
Borobudur, data tentang pergulatannya, tersimpan kuat di lemari kepalaku ini.

Posting Komentar