21 TAHUN RUWAT RAWAT BOROBUDUR .Beberapa saat terakhir ini, Kawasan Cagar Budaya Dunia Borobudur kembali menjadi pembicaraan di kalangan masyarakat luas. Isu yang paling banyak mendapat perhatian tentu saja adalah rencana kenaikan harga tiket untuk naik ke candi utama Borobudur yang dianggap keterlaluan mahalnya. Alasannya memang tampaknya mulia meskipun klise: “untuk melestarikan bangunan candi”.Caranya, dengan mengurangi kunjungan yang selama ini berlebihan, sehingga dapat mengakibat kan dampak buruk bagi warisan dunia itu.
Pertanyaannya,mengapapengurangan
kunjungan itu begitu melonjakkan harga tiket naik? Jawabannya tidak
sulit ditebak, karena Candi Borobudur lebih dilihat sebagai modal pariwisata
oleh pengelola. Tambang tempat menaguk keuntungan finansial semata. Artinya,
berkurangnya kunjungan harus dikompensasi dengan kenaikan tarif agar pemasukan
setidaknya tetap sama. Itulah nalar materialisma yang jauh dari nilai-nilai
luhur yang dipesankan oleh Candi Borobudur itu sendiri, yaitu menghindarkan
karma jelek manusia (Karmawibhangga) dengan meninggalkan ikatan
materialistik nafsu keduniawian (Rupadhatu) untuk menuju kesadaran pikir
dan hati bersih (rupadhatu) yang mencerahkan dan menyelamatkan jiwa.
Kebijakan tarif itu sekali lagi telah membuktikan
bahwa selama ini pihak-pihak yang diberi amanah mengelola Candi Borobudur telah
gagal memaknai warisan dunia itu dengan nalar yang jernih dan hati yang bersih,
sehingga nilai universal luar biasa kompleks candi itu tidak dapat dipahami
dengan tepat.
Dalam konteks itu, judul buku kumpulan
tulisan yang barangkali tampak sederhana ini tentu (semestinya) menghenyakkan. Ajar
Kanthi Nalar (belajar dengan nalar). Sontak ironi itu menjalar di lidah
rasa hati ini. Betapa kontrasnya, ternyata justru masyarakat yang seringkali
tersisihkan dalam pengelolaan Kawasan Borobudur itulah yang mampu menangkap
makna Borobudur yang sebenarnya! Tempat belajar, mendidik, dan mengasah nalar.
Bukan semata tempat untuk bersenang-senang, berwisata hura-hura, berfoto ria,
dan menaguk keuntungan atau devisa. Sesungguhnya, nilai-nilai edukasi itulah
yang disandang oleh Candi Borobudur sejak didirikan hingga diakui menjadi
warisan dunia. Mungkin, kebersihan hati dan kejernihan nalar itu yang
memungkinkan masyarakat lebih mampu menghayati secara tepat hakekat kehadiran
Kawasan Borobudur sebagai warisan dunia.
Ajar kanthi Nalar
mencoba memotret sejumlah kasus dan pengalaman yang dialami oleh masyarakat
sekitar Borobudur dan bagaimana mereka mencoba belajar darinya. Ekspresi dari
pengalaman empiris yang ingin dicerna dengan nalar mereka sendiri secara
merdeka. Lepas dari doktrin, pakem, dan rambu-rambu yang selama ini
seringkali dipaksakan oleh mereka yang menganggap dirinya sebagai otoritas di
bidang warisan budaya. Entah itu akademisi, pengelola, atau penguasa. Bisa
jadi, bagi otoritas yang sudah terlajur “mapan”, tulisan dan cara nalar yang
disajikan dalam buku ini dianggap kurang rasional, sekedar mereka-reka (othak-athik-gathuk),
atau malah mengada-ada. Namun, semua itu adalah kenyataan yang dirasakan dan
dipikirkan oleh komunitas setempat di akar rumput, yang tidak boleh diremehkan
sama sekali. Janganlah dipermasalahan dulu tentang “benar” atau “salah”, karena
siapa pun sehebat apa pun bisa salah. Sebaliknya, semua itu harus dipertimbangkan
sebagai informasi dan pandangan “lain” yang seharusnya dapat memperkaya
khasanah pengetahuan kita tentang Kawasan Borobudur. Lagipula, semua itu adalah
wujud kesadaran masyarakat bawah yang selalu bersedia untuk terus belajar dari kahanan
(keadaan) mereka. Bukankah itu adalah hakekat pesan Borobudur yang disampaikan
melalui lakon tokoh Sudhana dalam relief Gandawyuha? Belajar, belajar,
dan belajar agar mencapai nalar yang benar dan mendapatkan pencerahan. Ajar
kanthi nalar! Suatu proses yang kadang tidak lagi mampu dilakukan oleh
mereka yang merasa sudah mapan dan kuasa.
Sesungguhnya pemaknaan suatu warisan budaya
oleh komunitas setempat bukan hal yang baru. Di banyak negara lain, fenomena
itu telah muncul dengan kuat sejak dasawarsa 1980-an. Dalam dunia arkeologi,
gerakan ini disebut antara lain sebagai Arkeologi “pribumi” (indigenous,
native, first nations), atau Arkeologi Komunitas (community, minority).
Gerakan ini menguat ketika semakin disadari bahwa warisan budaya dapat memiliki
makna berbeda-beda menurut setiap pihak yang mengaitkan diri dengannya. Warisan
budaya tidak lagi dilihat dari sudut materialisma, yaitu sebagai benda-benda,
baik itu yang disebut landskap, situs, bangunan, artefak, dan tinggalan
arkeologi lainnya. Warisan budaya lebih dilihat sebagai suatu proses pemberian
makna yang dinamis. Suatu aksi untuk memaknai dengan beragam cara, seperti
mengingat, memperingati, merawat, meruwat, dan meneruskan kepada generasi
berikutnya. (Smith, 2011). Warisan budaya juga merupakan proses negosiasi antar
berbagai pihak untuk menentukan bagaimana warisan masa lalu itu akan dapat
dimanfaatkan di masa kini dan mendatang (Shackel,
2004).
Dengan memahami hal itu, terbitan berjudul Ajar
Kanthi Nalar ini dapat dilihat sebagai pernyataan strategis masyarakat yang
menunjukkan keberpihakan mereka dalam memaknai Kawasan Borobudur sebagai tempat
pendidikan. Bukan semata-mata tempat berwisata, tetapi tempat belajar tentang
segala aspek kehidupan dan lingkungan alam. Jika pun untuk wisata, tentu adalah
wisata yang benar-benar mendidik.
Ajar kanthi nalar
semestinya semakin menyadarkan para praktisi, penggiat, dan pengelola warisan
budaya, bahwa makna warisan budaya tidak dapat direduksi oleh batasan dan
kriteria yang ada dalam perundang-undangan. Apalagi, perangkat
perundang-undangan yang masih saja memberikan otoritas penentu makna hanya pada
sekelompok orang saja (tim ahli cagar budaya). Ini adalah bentuk nyata dari apa
yang disebut sebagai Authorized Heritage Discourse (AHD) yang sudah
mendapatkan kritik tajam dan luas di dunia (Smith 2015). Cara pikir AHD selalu
mengasumsikan: ada para ahli yang lebih tahu tentang makna yang paling layak
untuk disematkan pada suatu warisan budaya. Karena itu, jarang di antara “para
ahli” itu yang mau bertanya kepada masyarakat tentang apa makna warisan budaya
bagi masyarakat. Padahal, bukankah masyarakat adalah pemilik sah dari warisan
budaya itu? Warisan Budaya adalah milik semua dan semestinya untuk semua juga.
Karena itu, masyarakat menjadi pihak yang paling berhak memaknai warisan budaya
itu (baca Tanudirjo, 2003).
Pemaknaan masyarakat yang mungkin saja
berbeda dengan para ahli tidak lantas dapat begitu saja dinyatakan salah.
Karena, kebenaran tidak lagi dapat didaku oleh otoritas tertentu saja.
Pemaknaan masyarakat adalah ekspresi penghayatan mereka terhadap pengetahuan,
pengalaman, perasaan, dan pemahaman mereka terhadap warisan budaya mereka
sendiri. Pemaknaan yang berbeda adalah bagian dari apa yang disebut sebagai
keragaman suara (multivocal) yang justru menjadi salah satu idaman bagi
praktek arkeologi kini (Hodder, 1999). Bahkan, kini arkeologi tidak lagi
tunggal (archaeology), tetapi menjadi beragam arkeologi (archaeologies).
Artinya, penafsiran arkeologi pun berbeda-beda tergantung pada sudut pandang
penelitinya (Wobst, 2010). Keragaman suara tidak
harus ditafsirkan sebagai perbedaan sebagai produk subyektivitas ego tertentu,
tetapi justru harus menjadi penguat makna secara keseluruhan. Semakin banyak
makna yang dapat diaktualisasikan akan semakin kuat pula nilai-nilai
kemanfaatan yang didapatkan. Karena itu, apa pun hasil pemaknaan oleh
masyarakat tetap perlu untuk diakomodasikan dalam setiap upaya pelestarian
warisan budaya.
Pemaknaan oleh komunitas setempat, menurut
pengetahuan, pengalaman, nalar dan perasaan mereka sendiri, kadang juga disebut
sebagai wujud nyata dari proses dekolonisasi (Atalay, 2010). Pemaknaan kembali
yang dilakukan komunitas setempat adalah alternatif tafsir yang seakan
dibebaskan dari pandangan dan nalar “asing” yang selama ini justru mendominasi
makna warisan budaya yang ada. Meskipun harus diakui bahwa pemaknaan oleh
komunitas setempat pun tidak selalu harus dianggap yang paling benar. Namun,
setidaknya pemaknaan itu melibatkan cara pikir, konsep-konsep, dan situasi
budaya setempat yang tentunya lebih akrab sebagai konteks warisan budaya itu.
Karena itu, sesungguhnya dibutuhkan keterlibatan dan kerja bersama antar
komunitas setempat dan para praktisi pelestarian warisan budaya untuk dapat
memberikan pemaknaan yang tepat untuk masa kini dan mendatang. Sayangnya,
proses kolaboratif dan partisipatoris justru jarang terjadi di Kawasan
Borobudur, karena tampaknya para otoritas masih sulit melepaskan kuasa dan
kemapanannya untuk terjun dan memahami apa yang ada di akar rumput.
Hubungan dialogis harus terus dikembangkan
di antara semua pihak yang peduli terhadap warisan budaya, termasuk Kawasan
Borobudur yang telah menjadi warisan budaya seluruh umat manusia. Pihak-pihak
yang selama ini merasa menjadi “otoritas” tidak selayaknya selalu mengasumsikan
perlunya “pemberdayaan” masyarakat setempat, tetapi juga harus mau dan mampu
“memberdayakan” dirinya dengan belajar dari komunitas setempat. Tidak jarang
terjadi “otoritas” yang diberi kuasa mengelola Kawasan Borobudur justru tidak
menangkap spiritualitas warisan budaya ini sebagaimana yang dirasakan langsung
oleh Pak Sucoro dan teman-teman yang aktif dalam forum Jagad Jleguk
dengan Rawat-Ruwatnya yang sudah eksis tidak kurang dari 20 tahun
lamanya. Sementara otoritas pengelola memaknai Kawasan Borobudur lebih
materialistik sebagai komoditas wisata, komunitas setempat yang dikoordinasikan
Pak Sucoro justru mampu menghayati kharisma spiritualitas warisan budaya itu.
Hal itu jelas terbukti dalam Ajar Kanthi Nalar, yang sarat dengan
ekspresi spiritualitas yang hadir di Kawasan Borobudur. Spiritualitas yang layak menjadi bahan ajar
bagi kita semua. Sesederhana apa pun itu.
Memang kini sudah saatnya, Kawasan Borobudur
dengan beragam warisan budaya dan masyarakatnya harus dikembalikan kepada
fitrah nya, yaitu tempat belajar dan pendidikan. Tempat kita semua saling asah
dan asuh. Barangkali Pak Sucoro dan komunitas setempat lainnya bukan apa-apa
dalam struktur birokrasi pengelolaan Kawasan Borobudur. Namun, mereka terbukti
lebih peka dan lebih cakap menangkap fitrah Kawasan Borobudur, sebagai tempat
belajar.
Ajar kanthi nalar. Ya,
belajar dengan nalar (dan hati) di tengah masyarakat Borobudur. Di Kawasan
Borobudur yang diakui memiliki nilai-nilai universal luar biasa ini, tidak
semestinya kita merasa malu untuk saling belajar, dari siapa pun dan dengan
siapa pun. Karena, memang fitrah kawasan ini adalah tempat belajar dan
merefleksi diri. Harapannya, agar kita bisa memaknai warisan dunia Borobudur
dengan hati lebih bersih dan pikiran lebih jernih. Seperti kisah Sudhana yang
dipahatkan di dinding-dinding Candi Borobudur.

Posting Komentar